Senin, 14 September 2020

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

 


Sebagai salah satu lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi (MK”) mempunyai empat kewenangan serta satu kewajiban yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”). Adapun kewenangan MK dalam memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kewenangan MK dalam memutus sengketa antar lembaga negara hanya berlaku terhadap lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”) kemudian diubah lagi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“Perpu 1/2013”) yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang yang berbunyi sebagai berikut :

 

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a.       menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.      memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c.       memutus pembubaran partai politik; dan

d.      memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

 

Pihak yang Berperkara Pada Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Mengapa kemudian muncul potensi sengketa antar lembaga-lembaga negara? Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (hal.150) dalam sistem ketatanegaraan yang diadopsi oleh UUD 1945 sesudah perubahan pertama (1999), kedua (2000), ketiga (2001), dan keempat (2002), mekanisme hubungan antar lembaga negara tidak lagi bersifat vertikal, melainkan bersifat horizontal. Jika sebelum amandemen konstitusi dikenal adanya lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara, maka pasca amandemen konstitusi tidak dikenal lagi lembaga tertinggi negara. Dalam hal ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”) bukan lagi sebagai lembaga negara tertinggi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, melainkan kedudukannya sederajat dengan lembaga-lembaga konstitusional lainnya seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”), MK, Mahkamah Agung (“MA”), dan Badan Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”).

UU MK tidak menjelaskan lebih lanjut batasan lembaga negara yang menjadi subjek dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Artinya tidak ada penyebutan apa saja lembaga negara yang dapat bersengketa dalam sengketa kewenangan lembaga negara. Batasan yang diberikan bahwa selama kewenangan tersebut diberikan oleh UUD maka lembaga tersebut dapat menyelesaikan perselisihan kewenangan tersebut di MK. bahkan Jimly menyebutkan bahwa lembaga negara yang memiliki constitutional importance maka dapat menyelesaikan perselisihan kewenangannya di Mahkamah Konstitusi.

Penjelasan lebih lanjut mengenai lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa antar kewenangan lembaga negara tersebut dapat kita temukan dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara (“PMK 08/2006”) yang berbunyi sebagai berikut :

 

1.      Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah:

a.       Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

b.      Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

c.       Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

d.      Presiden;

e.       Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);

f.       Pemerintahan Daerah (Pemda); atau

g.      Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

2.      Kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.

3.      Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial) Vide Pasal 65 UU Mahkamah Konstitusi.

 

Apakah MK Berhak Menjadi Pihak yang Berperkara?

Dalam ketentuan a quo MK tidak disebutkan sebagai pihak yang dapat berperkara dalam Sengketa Kewenangan antar lembaga negara. Tidak memasukan MK sebagai pihak baik di dalam UU MK maupun PMK 08/2006 telah sesuai dan sejalan dengan asas peradilan yang berlaku universal yaitu nemo judex idoneus in propria causa yang berarti hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Asas nemo judex idoneus in propria causa merupakan bagian dari menjaga imparsialitas (ketidak-berpihakan), netralitas dan independensi hakim sebagai pemeriksa dan pemberi keadilan.

Adanya imparsialitas hakim ini menurut Yanis Maladi dalam tulisannya Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa dan Asas Ius Curia Novit, dalam Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (hal.7) dimaksudkan agar hakim dapat mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar subjektivitas dan keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara, asas ini juga menjadi pelindung bagi hakim agar tidak memutus perkara untuk dirinya sendiri. Dalam ilmu hukum asas berkedudukan di atas norma-norma hukum yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Dengan demikian MK tidak bisa menjadi pihak yang bersengketa dalam perkara kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Menurut informasi yang kami dapatkan pada laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sejak MK dibentuk hingga 21 Mei 2019, setidaknya MK telah memutus 29 perkara kewenangan antar lembaga negara. Perkara tersebut merupakan perkara yang diregistrasi pada tahun 2004 (2 perkara), 2005 (2 perkara), 2006 (3 perkara), 2007 (2 perkara), 2008 (3 perkara), 2010 (1 perkara), 2011 (6 perkara), 2012 (4 perkara), 2013 (3 perkara), 2015 (1 perkara) dan pada tahun 2019 (1 perkara).

Berdasarkan data tersebut dan merujuk pada ketentuan UU MK dan PMK 08/2006 a quo MK belum pernah memutus perkara sengketa lembaga negara yang terkait dengan dirinya.


Sumber : www.hukumonline.com